Pondasi Peradaban Umat

dok.alibrah : Penuh Kebersamaan

Manusia adalah makhluk sosial, dari segala perspektif, baik untuk memenuhi kebutuhan diri, mempertahankan kelangsungan hidup, atau untuk berkembang, tidak lepas dengan ketergantungannya pada yang lain. Secara mutlak dapat dikatakan bahwa keberadaan orang lain dalam hidup seseorang senantiasa dibutuhkan setiap saat, setiap waktu, di segala tempat dan dalam kondisi apapun. Jadi, manusia dalam hidup tidak hanya butuh makan, minum, pakain dan tempat tinggal saja, namun juga keberadaannya membutuhkan keberadaan orang lain.

Fitrah Insani

Allah menciptakan Nabi Adam dengan segala kelebihan dan kebaikan, dari bentuk yang terbaik (Ahsanu taqwim), akal dan keilmuan yang terbaik (ilm), kedudukan yang terbaik (khalifah), penghormatan yang terbaik (bersujud seluruh malaikat), bahkan tempat yang terbaik dalam surga (jannah). Suatu kenikmatan yang begitu lengkap dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Kendati demikian, Nabi Adam masih merasa ada yang kurang dalam hidupnya, yaitu keberadaan orang lain dari jenisnya, maka diciptalah Hawa.

Fitrah ini membuktikan bahwa secara naluriah hakekat hidup manusia memerlukan kebersamaan, keberadaan, dan kehidupan sosial dengan yang lain untuk menjadi umat yang satu. Agama Islam dalam hal  ini senantiasa mengajak manusia untuk saling mengisi, saling berbagi dan saling berinteraksi dengan makhluq lainnya, khususnya terhadap sesama manusia, sehingga mampu menjalani rotasi hidup yang semuanya bermuara kepada Sunnatullah, yaitu hidup berukhuwah dalam komunal masyarakat yang interdependen.

Ranah Terminologi

Ukhuwah merupakan kata Arab yang memiliki makna dasar akhun, yang secara etimologi berarti saudara, kerabat, atau sahabat. Dalam kajian terminologi  ukhuwah dapat diistilahkan sebagai ikatan persaudaraan  cukup kuat yang lahir dari adanya hubungan keturunan, atau adanya persamaan paham, prinsip dan ideologi, maupun kesetaraan nasib dan budaya serta etnik lainnya.

Dari makna diatas kemudian muncul ikatan-ikatan ukhuwah yang lahir terlandasi oleh kesamaan paham dan ideologi seperti “Ukhuwah Diniyah/Ukhuwah Islamiyah”, ada juga ikatan ukhuwah yang berlandaskan pada aspek kebangsaan dan etnik yang sama, yaitu “Ukhuwah Wathaniyah”, disamping itu ada juga “Ukhuwah Basyariyah/Ukhuwah Insaniyah” sebagai simbol ikatan kuat atas jenis yang serupa.

Istilah ukhuwah sendiri sebenarnya mengandung makna konotatif yang erat hubungannya dengan istilah Ittihad (persatuan). Tidak dapat dipungkiri bahwa dasar persatuan yang kokoh terlahir dari landasan ikatan persaudaraan dan ukhuwah yang kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ukhuwah merupakan pondasi penting untuk membangun kepedulian, empati dan persatuan.

Landasan Ukhuwah dan Sumber Perpecahan Umat

Membangun sebuah masyarakat yang berukhuwah bukanlah hal yang relatif ringan, namun perlu adanya landasan yang menjiwai tiap individu dan perlu juga adanya upaya menciptakan suasana budaya yang mendukung terjadinya kehidupan harmonis serta kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beragama, diantara pokok pentingnya adalah:

  1. Memegang teguh tali agama, serta mengembalikan segala permasalahan hidup pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang telah menjadi sumber solusi umat. Dengan suasana kehidupan penuh kekhusyukan dan keikhlasan sebagai hamba Allah yang memiliki kewajiban kepada Tuhan dan kepada sesama ciptaan-Nya, akan mampu melahirkan suasana religius yang berpotensi mendatangkan karunia Allah berupa kedamaian dan ketenangan hidup, dimana kedua karunia itu bukan hanya menjadi kebutuhan pribadi semata, namun sudah menjadi harapan tiap kelompok masyarakat. Dalam firman-Nya Allah menegaskan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا, وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ

بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ اِخْوَانًا.

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai,  dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara”, (Ali Imran: 103)

  1. Adanya kesadaran akan kesamaan status sebagai mukmin, bukan karena kesetaraan strata, kedudukan, tingkatan materi atau jabatan, dengan demikian jalinan persaudaraan akan murni, tulus tanpa didasari kepentingan lain yang bersifat sesaat, sehingga jiwa persaudaraan akan terus terjaga dimanapun, terhadap siapapun, sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun. Allah berfirman:

اِنَّمَا المُؤْمِنُونَ اِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (Al-Hujurat: 10)

  1. Menciptakan jiwa kepedulian, saling tolong-menolong, saling bantu, dan saling menasehati dalam kebenaran serta kesabaran. Hal ini merupakan jalan utama untuk menghidupkan rasa cinta kasih dan sayang serta persaudaraan terhadap sesama. Allah berfirman: ‘Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran.’ (Al-Asr: 1-3).

Dalam hal ini, Rasulullah telah bersabda: ‘Allah selalu menolong orang selama orang itu selalu menolong saudaranya (HR. Ahmad). Selain itu, Rasulullah juga senantiasa menjelaskan tentang besarnya manfaat saling memberi dan berbagi, seperti yang disabdakannya: ‘Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian saling sayang dan cinta (Tahaadau tahaabbu) (HR. Bukhori).

Sementara itu, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama keretakan dan perpecahan umat, seperti yang telah dijelaskan secara eksplisit (jelas dan tersurat) dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: 11-12, dimana orang-orang yang beriman harus bisa menghindari dan menahan untuk:

  1. La yaskhor (tidak mengolok-olok dan mengejek) orang lain, karena boleh jadi yang diejek lebih baik dari orang yang mengejek. Lagi pula, prilaku ini akan menyeret pelakunya kearah perselisihan yang lebih besar.
  2. La talmizu (Jangan saling mencela), karena hal itu bisa menimbulkan amarah dan dendam.
  3. La Tanabazu bil alqab (jangan saling memanggil dengan julukan buruk), karena perbuatan ini akan menjatuhkan martabat dan menimbulkan sakit hati.
  4. Ijtanibu katsiron minadzonni, (hindari berprasangka negatif terhadap orang lain), karena hal itu akan menimbulkan iri dan dengki yang bisa melahirkan salah sangka dan fitnah.
  5. La tajassasu, (jangan mencari-cari dan sibuk) dengan kesalahan orang lain, sementara kesalahan sendiri terlupakan, hal ini cenderung menyebabkan perasaan tidak tahu diri, merasa paling benar, takabur dan keras hati.
  6. La yaghtab (tidak menggunjing), berbuat ghibah, karena dengan berghibah sama artinya memakan ‘bangkai’ saudara sendiri.

Filosofi Ukhuwah antara Muhajirin dan Anshar

Salah satu strategi Rasulullah setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah adalah dengan menyaudarakan orang-orang muhajirin yang turut berhijrah dengan masyarakat Anshar Madinah yang turut ikhlas membantu Rasulullah dan muhajirin kala itu. Penyaudaraan antara muhajirin dan Anshar Madinah ini tidak lain adalah dalam rangka:

  1. Membangun pondasi kemasyarakatan yang kuat dengan menyatukan keduanya.
  2. Mengenalkan kepada publik bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan persamaan dankebersamaan, tidak menghendaki diskriminasi sosial, perbedaan status, dan dikotomi kelompok/kabilah, yang saat itu sangat rentan dengan sentimen perpecahan dan pertikaian antar kaum mayoritas di Madinah, yaitu Yahudi, Aus dan Khazraj.
  3. Melalui masyarakat yang solid dan kuat, akan mudah menata suasana politik, ekonomi, sosial, budaya dan da’wah islamiyah sehingga mampu membangun masyarakat yang berdaulat dan berperadaban tinggi dengan dasar agama yang kuat.

Dengan demikian, upaya Rasulullah dalam mempersatukan Muhajirin dan Anshar adalah strategi utama yang dinilai sangat prospektif guna membangun kekuatan Islam secara struktural, kultural dan jiwa spiritual dalam masyarakat yang heterogen.

Wallahu A’lam… (Muh. Musyafak, S.Ag)*

* Kepala SDIT Al Ibrah