Penulis: Dr. Ruqoyyah Fitri, S.Ag., M.Pd (Dosen Prodi PAUD Pascasarjana Unesa , Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Al Ibrah Gresik)
—
Sejak awal kehidupannya, anak berkeinginan melatih keterampilannya yang akan membuat mereka mandiri. Membantu mereka belajar melakukan berbagai hal sendiri, mulai dari mandi, memakai pakaian, menuang minuman, dan membuat kudapan berarti menempatkan mereka pada jalan menuju kemandirian.
Menurut Montessori, “Naluri pertama anak adalah melakukan tindakan-tindakan dengan dirinya sendiri, tanpa bantuan apapun, sedangkan upaya sadarnya yang pertama untuk meraih kemandirian ditempuh manakala dirinya mempertahankan diri dan bersikukuh melawan orang-orang yang mencoba-coba melakukan tindakan untuknya. Agar berhasil dengan dirinya sendiri, anak meningkatkan upaya-upayanya” (Maria Montessori – The Absorbent Mind, 2008).
Untuk mengikuti naluri menuju kemandirian, anak berupaya mengenali lingkungan sekitarnya melalui aktivitas kedua tangannya, yang dirangsang oleh pikirannya. Semakin berulang tangan anak terlatih melakukan banyak hal, semakin meningkat fungsi dan tugas kecerdasannya. Menurut Erikson (dalam Krisnawati, 2018), bahwa ciri kemandirian telah ada sejak usia 3-5 tahun, karena pada usia ini anak berada pada inisiatif versus rasa bersalah, anak-anak usia tersebut dapat mengerjakan tugas, aktif dan terlibat dalam aktivitas, tidak ragu-ragu, tidak merasa bersalah, atau takut melakukan sesuatu sendirian.
Erikson berpendapat, masa kritis perkembangan kemandirian anak berlangsung saat usia 2-3 tahun (Zain dan Haryono, 2019). Bila pada usia tersebut kebutuhan anak untuk mengembangkan kemandirian tidak terpenuhi, maka perkembangan kemandirian anak akan terhambat dan tidak berkembang secara optimal, bahkan sampai dewasa. Oleh karenanya melatih kemandirian sebaiknya dimulai sejak awal anak-anak desertai pengendalian fantasinya.
Montessori berpendapat, fantasi anak dalam perkembangannya harus dibatasi tidak boleh dibebaskan seleluasa mungkin. Sebab jika fantasi tidak dibatasi dapat menghambat kemadirian anak, menjadi tidak realistis, karena fantasinya seseorang anak dapat terlena dengan dunia khayalnya. Montessori sangat menekankan eksistensi anak dan ia juga menggagaskan konsep tentang self-construction dalam perkembangan anak.
Menurutnya, suatu fase kehidupan di awal sangat berpengaruh terhadap fase-rase kehidupan selanjutnya artinya bahwa pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang anak di awal kehidupannya sangat berpengaruh terhadap kedewasaannya kelak, begitu juga perlakuan yang di dapatkan anak sejak kecil akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya (Nasution, 2017).
Kecenderungan orang dewasa adalah membantu anak dalam setiap upaya-upayanya. Namun seharusnya adalah membiarkan anak untuk mencoba, membiarkan tangannya yang ingin bergerak, dan menyediakan benda-benda sebagai mainan untuk melakukan aktivitas cerdas, sesuai konsep filosofis yang melandasi penguasaan kemandirian.
“Bahwa manusia meraih kemandiriannya dengan melakukan upaya agar mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan dari siapapun” (Maria Montessori – The Absorbent Mind, 2008).
Filsafat tersebut mengajarkan kita agar jangan sekali-kali memberikan bantuan secara berlebihan pada anak. Biarkan anak mencoba disaat dia ingin melakukan, karena upaya memperkuat kemampuan anak yang dalam masa pertumbuhan adalah melalui praktek/latihan. Kemandirian harus diraih melalui latihan. Orang dewasa yang terus-menerus memberikan bantuan justru menjadi penghambat. Karena itu selayaknya pendidik menerapkan prepared environment sesuai konsep Montessori, yaitu lingkungan yang disiapkan agar anak dapat bereksplorasi di lingkungannya dengan bebas, aman dan nyaman (Paramita, 2018: 82). Sesuai pernyataan Montessori:
“The first aim of the prepared environment is, as far as it is possible, to render the growing child independent of the adult.” (Maria Montessori -The Secret of Childhood, 1966.)
Bahwa lingkungan yang disiapkan bertujuan menyiapkan anak untuk belajar mandiri. Oleh karenanya, pendidik harus berusaha keras dan berniat untuk memastikan lingkungan belajar diatur sedemikian rupa sehingga mendukung perkembangan anak dan membantu kemandirian pribadi mereka (Ledendecker, 2020).
Montessori berpendapat bahwa, mengajarkan nilai-nilai kemandirian pada anak dapat melalui latihan kehidupan praktis (practical life exercise) agar anak memperoleh kebebasan untuk melakukan hal yang mereka butuhkan. Menurut Nasution (2017), anak meniru dan mengulangi apa yang dilakukan orang dewasa. Dalam kegiatan latihan kehidupan praktis, anak-anak meniru atau mengaplikasikan apa yang anak lihat.
Untuk melatih kemandirian anak, pendidik perlu menerapkan kegaiatan practical life yang akan mendukung pengembangan kontrol dan koordinasi motorik, kemandirian, konsentrasi, dan rasa tanggung jawab (Guidepost, n.d.). Kegiatan practical life meliputi 4 area yaitu development of motor skills, care of self, care of environment, dan social grace and courtesy. Keempat area tersebut memiliki fungsi dan tujuan masing-masing.
Kegiatan practical life bisa diterapkan di rumah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk mengurus dirinya seperti mengenakan pakaian dan makan atau melibatkannya dalam tugas-tugas rumah tangga. Tetapi hal yang perlu diingat, tujuan utama dari keterlibatan anak adalah mengajarkan keterampilan sekaligus cara bersikap terhadap pekerjaan. Orientasinya proses, bukan hasil. Karena kalau orientasi pada hasil tentunya anak belum bisa maksimal seperti harapan orang tua.
BIOGRAFI PENULIS
Nama: Dr. Ruqoyyah Fitri, S.Ag., M.Pd.
Tempat, tgl lahir : Gresik, 26 Maret 1972
Pekerjaan: Dosen Unesa
Alamat: Jl. Serayu no 33-35 Perum Randuagung Gresik.
Telp: 082 141 934 592.
- Pendidikan:
S1 Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
S2 Jurusan PG Paud Unesa
S3 Jurusan Teknologi Pendidikan Unesa
- Amanah :
Dosen Jurusan PAUD Pascasarjana Unesa
Asesor BAN Paud/PNF
Asesor Lisensi PAUD Sekolah Islam Indonesia
Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Al Ibrah
Konsultan PAUD
- Pengalaman:
Validator ahli instrumen akreditasi LAMDik/BAN-PT
Kepala PAUD 9 th.
Ketua Gugus PAUD Kec. Gresik.
Ketua PKG PAUD Gresik.
Bidang mutu PAUD.
Guru SD 9 th.
Guru TK 5 th.
Guru TPQ 2 th.
Daftar Pustaka
Guidepost Team. (n.d.). The Importance of Practical Life Activities Within the Montessori Method. Diperoleh dari: https://guidepostmontessori.com/blog/practical-life-activities-montessori-method#:~:text=Practical%20life%20in%20Montessori%20is,and%20care%20of%20the%20environment.
Krismawati, Y. (2018). Teori psikologi perkembangan erik h. erikson dan manfaatnya bagi tugas pendidikan kristen dewasa ini. KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen), 2(1), 46-56.
Ledendecker, Meagan. (2020). Montessori Basics: The Prepared Environment. Diperoleh dari: https://www.berkshiremontessori.org/montessori-basics-the-prepared-environment
Montessori, Maria. (2008). The Absorbent Mind, Pikiran yang Mudah Menyerap. Yogyakarta: Pustaka Pelaar.
Nasution, R. A. (2017). Penanamana Disiplin dan Kemandirian Anak Usia Dini dalam Metode Maria Montessori. Jurnal Raudhah, 5(2).
Paramita, Vidya Dwina. (2018). Jatuh Hati pada Montessori. Bandung: Mizan Media Utama (referensi diambil pada jurnal: Wulandari, D. A., Saefuddin, S., & Muzakki, J. A. (2018). Implementasi pendekatan metode montessori dalam membentuk karakter mandiri pada anak usia dini. AWLADY: Jurnal Pendidikan Anak, 4(2), 1-19.
Zain, Z., & Haryono Yuwono, M. P. (2019). Pengaruh Penggunaan Metode Toilet Training terhadap Kemandirian Anak Kelompok A di TK IT Al-Falaah Sambi Tahun Pelajaran 2018/2019 (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).