Jika mencermati lalu lintas informasi lewat media massa dan kondisi di lapangan, maka terdapat fakta dan fenomena mencengangkan terkait dengan perkembangan anak-anak. Hampir tiap hari media massa menyuguhkan informasi yang menguatkan sinyalemen, betapa anak-anak berada dalam kumparan yang berpotensi mengganggu proses pendidikan dan pendewasaan mereka dalam meraih kesuksesan hidup sehari-hari.
Sejumlah tindakan asusila, asosial, bahkan kriminal tak jarang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya, baik secara langsung maupun tidak, baik sebagai pelaku utama maupun hanya sekadar ikut-ikutan. Tidak heran, di sejumlah daerah di negeri ini, banyak anak yang semestinya enjoy dalam luapan kegembiraan dalam bermain dengan teman-temannya, harus berurusan dengan masalah hukum. Tahapannya beragam. Ada yang masih berada pada tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, bahkan hingga menerima vonis terbukti bersalah oleh hakim pada persidangan di pengadilan.
Selain itu, dalam dasa warsa terakhir ini, publik juga mendapati lahirnya generasi baru yang di dalamnya sebagian besar melibatkan anak-anak sebagai pelakunya. Generasi baru yang dimaksud adalah fenomena lahir dan merebaknya generasi gadget sebagai konsekuensi berkembangnya teknologi informasi yang ditandai oleh percepatan munculnya produk hand phone (HP) dengan fitur-fitur yang memanjakan penggunanya, terutama anak-anak. Demikian juga pesatnya perkembangan game on line (yang juga bisa diakses lewat HP), dengan cepat mampu merampas sebagian besar waktu anak-anak dan memalingkan mereka dari belajar yang seharusnya lebih diutamakan.
Kuatnya magnet dan “sihir” gadget dengan game on line atau fitur dan fasilitas aplikasi media sosial (medsos) yang menggiurkan seperti face book (FB), WhatsApp (WA), line, twitter, instagram, tanpa disadari berdampak negatif pada perkembangan psikologis dan perilaku anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya matinya kreativitas dan menurunnya etos belajar, menurunnya gairah membaca, cuek terhadap lingkungannya, serta lebih suka cara instan dalam bertindak. Majunya perkembangan teknologi informasi yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk memacu semangat dan men-support belajar disikapi secara secara akal-akalan lewat budaya copy paste (copas). Apalagi kuatnya peran Google belakangan ini secara nyata terbukti menjadikan sebagian anak-anak kehilangan kreativitas dan kerja keras dalam proses belajar.
Kuatnya pengaruh Google terhadap proses belajar mengajar, membuat pakar pendidikan yang juga mantan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof Muchlas Samani, memberikan perhatian khusus dalam bukunya, Semua “Dihandle” Google, Tugas Sekolah Apa?. Dalam buku terbitan Unesa University Press (2016) setebal xviii + 326 halaman ini, Prof Muchlas Samani menyampaikan kegalauannya jika perkembangan dunia internet –dengan peran Google-nya—tak diantisipasi secara cermat dan bijak.
Kegalauan itu di antaranya ia fokuskan pada: bagaimana sekolah sebagai pengelolala satuan pendidikan mempersiapkan diri untuk menyongsong era media sosial; dan perlunya guru menyiapkan diri dengan kemampuan yang memadai. Selain itu, ia menyoroti arah sekolah di Indonesia yang kerap berubah. Apakah sekolah akan diarahkan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja, atau untuk pengembangan sumber daya manusia? Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik dan perlu jawaban konkret.
Kata Prof Muchlas Samani, sekolah harus berubah. Sekolah tidak boleh lagi hanya fokus memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Sebab, ilmu pengetahuan dan informasi sudah diberikan secara mudah dan cepat oleh media sosial atau fasilitas internet lainnya. Untuk mendapatkan informasi apa pun, dalam waktu kurang dari 1 menit, bisa diakses melalui laman Google yang akan mengantarkan siswa kepada sumber informasi yang dicari. Karena itu, di era serba digital saat ini, sekolah seharusnya mengajarkan kepada siswanya untuk menjadi seorang yang memiliki life skills, bisa belajar secara mandiri, dan mampu berpikir tingkat tinggi. Sekolah juga harus mengembangkan karakter siswanya sehingga mampu bersaing, bertanding, dan bersanding secara global.
Hakikat Pendidikan
Inti pendidikan itu mengubah siswa atau peserta didik menjadi lebih baik dalam berbagai aspek sebagaimana tujuan yang ingin digapai oleh penyelenggaranya. Namun, dalam praktiknya sering dijumpai fakta, parameter keberhasilan pendidikan dipersepsikan pada kemampuan siswa mengerjakan soal-soal yang diujikan guru dalam tahap evaluasi. Tak heran, karena orientasinya demikian, proses pemberlajaran pun cenderung dirahkan untuk membekali siswa agar mampu mendapatkan nilai maksimal dalam berbagai jenis ujian.
Guru dan atau orang tua/wali murid, merasa lebih bangga jika siswa atau anak-anak mereka mampu nilai bagus, tanpa memedulikan apakah sukses meraih nilai itu dibarengi dengan perbaikan akhlak/moral atau sebaliknya. Yang penting nilai siswa atau anak-anak bagus, titik! Tidak heran jika kemudian para, banyak orang tua yang rela mengalokasikan dana jutaan rupiah untuk memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga bimbingan belajar demi mengejar nilai bagus dan kelak mampu memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi yang mereka inginkan.
Fenomena ini tak pelak memantik kekhawatiran publik yang mengendaki pendidikan berkualitas dengan lulusan yang berkualiatas pula. Adalah KH A. Mustofa Bisri sempat melontarkan kegelisahannya terkait penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Pemangku Pondok Pesantren (Ponpes) Raudlatut Thalibin Rembang, Jateng itu ngudarasa tentang carut-marut dan amburadul-nya pendidikan di Indonesia. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini menilai, masalah tersebut sudah mengakar mulai di tingkat pengelola satuan pendidikan (baca: sekolah) hingga pembuat kebijakan tertinggi di bidang pendidikan. Bahkan, menurut Gus Mus, ruwetnya dunia pendidikan terjadi secara sistemik, karena menyentuh hampir seluruh tahapan dalam proses pembelajaran di sekolah (Suhartoko, dalam JEJAK SUNYI Sang Mualaf, Sinar Imajinasi, 2017).
Jika mencermati kembali definisi dan hakikat pendidikan, baik yang diungkap para pakar pendidikan klasik maupun modern, dalam beberapa dekade terakhir, sepertinya telah terjadi distorsi pemaknaan. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia memaknai pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sementara pakar pendidikan Frederick J. Mc Donald memandang pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk mengubah tabiat.
Makna hampir sama dapat diperoleh dari terminologi Jawa yang menempatkan pendidikan sebagai panggulawenthah (pengolahan), yakni mengolah atau mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan, dan watak, serta mengubah kepribadian sang anak. Deskripsi lebih lengkap dan gamblang dapat ditemui dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (Sisdiknas). Pasal 1 ayat 1 UU ini menyebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari paparan tersebut jelaslah, bahwa soal-soal ujian yang dihadapi peserta didik selama ini jauh dari makna serta maksud dan tujuan pendidikan. Karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentingan (stake holder) pendidikan menyamakan persepsi tentang pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan para pakar pendidikan maupun payung hukum yang berlaku, dalam hal ini UU Sisdiknas. Kembalikan makna pendidikan sesuai dengan “fitrahnya” dan jangan ada lagi distorsi dalam memaknai dengan merancukannya antara pendidikan dan pengajaran.
Kita tentu tidak ingin para peserta didik atau siswa hanya piawai menuntaskan soal-soal ujian dengan hasil gemilang, lalu menafikan perkembangan moral/akhlak atau budi pekerti sebagai bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, kita berharap peserta didik tumbuh dengan berbagai kecerdasan yang secara komprehensif dikembangkan lewat proses belajar mengajar.
Maksimalkan Peran Keluarga
Kalau ditanya posisi pentingnya peran keluarga dalam proses pendidikan anak, tentu tidak ada yang membantah. Hanya saja, seberapa besar peran yang harus diberikan keluarga, khususnya orang tua, ini kerap menjadi bahan diskusi. Sebab, kemampuan masing-masing keluarga dalam mendampingi pendidikan anak-anak tentu beragam. Ini yang kemudian membutuhkan peran lembaga penyelenggara atau pengelola pendidikan seperti sekolah. Namun, satu hal yang tak bisa ditawar, dalam proses pendidikan anak, keluarga adalah peletak dasar pondasi yang kelak akan menentukan kokohnya perkembangan pendidikan dan kepribadian anak.
Unicef, salah satu lembaga di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkonsentrasi menangani anak, dalam laman resminya juga mengingatkan betapa pentingnya partisipasi orang tua dan komunitas dalam proses Pendidikan anak secara dini. Keterlibatan peran keluarga atau orang tua dalam banyak penelitian disebutkan memiliki korelasi positif terhadap keberhasilan pendidikan dan perkembangan emosi serta sosial anak. Karena itu, seiring dengan perkembangan zaman, khususnya pesatnya teknologi informasi yang ditandai dengan kemudahan akses via internet, peran keluarga atau orang tua perlu terus dimaksimalkan dengan terus meng-up date pengetahuan dan kemampuan di berbagai bidang yang dibutuhkan untuk perkembangan anak.
Jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 22-24 April 2015 terhadap 326 responden yang di keluarganya terdapat anak usia sekolah, menunjukkan, mayoritas publik menyadari pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Sebanyak 85 persen responden menyatakan, orang tua dan keluarga memiliki peran paling penting dalam proses pendidikan anak. Hanya 15 persen responden yang menilai peran tersebut ada di tangan guru dan lingkungan di luar keluarga.
Pentingnya peran keluarga atau orang tua dalam pendidikan anak juga diamini Pemangku Pesantren Nusantara Ma’had TeeBee Indonedia (PeNUs MTI) Surabaya, Miftahul Luthfi Muhammad. Bahkan lebih ekstrem Gus Luthfi, sapaan akrabnya, mengungkapkan, tidak ada pendidikan tanpa hadirnya peran keluarga atau orang tua. Pernyataan lugas ini kian menguatkan, posisi keluarga atau orang tua merupakan pilar utama dan harus dominan dalam proses pendidikan anak.
Hadirnya keluarga dalam mendampingi proses pendidikan anak sesungguhnya bisa berlangsung di mana pun dan sampai kapan pun anak membutuhkan pendidikan, tanpa tersekat oleh ruang dan waktu. Dalam perspektif Islam, proses pendidikan sejatinya sudah dimulai jauh sebelum anak terlahir ke dunia ini, bahkan sebelum berwujud janin dalam kandungan. Kondisi psikologis dan sumber makanan yang masuk dalam perut sang ibu diyakini berkorelasi dengan karakter bayi yang kelak lahir dan berpengaruh dalam perkembangan kejiwaannya. Karena itu, jangankan dalam proses pendidikan di sekolah, masih berada di kandungan pun, orang tua perlu menyiapkan diri dan berhati terkait dengan perkembangan anaknya.
Pendampingan keluarga terhadap anak usia sekolah, tidak saja dilakukan ketika berada di rumah. Ketika anak tengah menjalani proses pendidikan di sekolah, baik yang regular, maupun full day, bahkan boarding school atau pesantren pun, penguatan peran keluarga atau orang tua masihlah tetap dibutuhkan. Adanya fasilitas komunikasi seperti HP yang dilengkapi akses medsos-nya dan sarana komunikasi lainnya, bukan lagi halangan untuk menintensifkan interaksi orang tua dengan pihak guru atau sekolah. Karena itu, demi keberhasilan pendidikan anak-anak, sekali lagi, penguatan peran keluarga atau orang tua, perlu terus dilakukan dan ditingkatkan. (*)
Penulis : Suhartoko (Orangtua Alumni SMPIT Al Ibrah tahun 2016-2017)*
*Artikel ini telah dimuat di Harian DUTA MASYARAKAT, edisi 7 Juli 2017, halaman 02.