Pemimpin Indonesia Dalam Perspektif Sejarah
Negara Indonesia saat ini telah memasuki umurnya yang ke-70. Dan telah menapaki berbagai model kepemimpinan dari seorang presiden dengan watak dan karakter yang cukup variatif. Era pertama adalah sosok yang cukup fenomenal dalam lintas faktual sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebijakannya banyak dititikberatkan kepada upaya kemerdekaan bangsa. Era kedua adalah era yang cukup lama dan panjang, yang dalam hitungan waktu dapat mencapai setengah umur manusia, dimana aksentuasinya kebijakannya yang dituangkan dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) banyak tertumpu kepada pembangunan infrastruktur dan pangan, sehingga mendapat julukan Bapak Pembangunan, dengan gaya kepemimpinan ‘njawani‘ dan cukup konservatif. Era ketiga adalah pasca orde baru, dimana kepemimpinan Indonesia dibawah kendali putra terbaik Indonesia yang cendikia, cerdas dan kreatif. Sayangnya, kebriliannya belum banyak mewarnai nusantara, karena masa jabatannya yang begitu singkat. Namun begitu, di eranya, nuansa reformasi begitu terasa dengan berbagai kebijakan yang mendukung transparansi dan demokratisasi, baik di bidang politik, hukum, dan hak menyampaikan pendapat. Era keempat adalah era kepemimpinan dari sosok ‘santri’, yang memimpin hampir 2 tahun. Sebagian pengamat menganggap terpilihnya sebagai presiden ke-4 adalah merupakan upaya penyelamatan bangsa dari kegentingan politik kala itu. Kebijakannya cenderung kepada pro- minoritas dan kebebasan menjalankan keyakinan. Era kelima adalah era kepemimpinan kaum hawa sepanjang 6 dasawarsa kemerdekaan RI. Menjadi presiden setelah mengalami berbagai peristiwa politik, terutama peristiwa 27 Juli 1996. Terobosan kebijakannya adalah untuk memulihkan kondisi ekonomi dan pengurangan utang luar negeri, serta peningkatan taraf kehidupan masyarakat di masa krisis. Selanjutnya, saat ini, Presidan yang pemilihannya langsung oleh rakyat Indonesia, akan menyelesaikan masa tugasnya. Dalam kontrak politiknya dengan PKS, presiden berupaya melaksanakan agenda pembangunan menuju Indonesia Madani, Adil, Aman dan Sejahtera.
Tatanan Integral
Kebijakan, selama itu merupakan karya manusia memiliki garis keterbatasan dan kelemahan. Boleh jadi suatu hukum yang telah menjadi terapan atas dasar kebijakan kecerdasan insani jauh dari unsur kesempurnaan. Karena bagaimanapun hebatnya hukum naluriah, terkadang masih terkontaminasi oleh emosional, kepentingan ataupun unsur-unsur prerogatif, hingga tidak lepas dari hal-hal yang menguntungkan bagi salah satu pihak, namun belum tentu demikian bagi pihak yang lain. Fenomena ini merupakan gambaran krusial akan pentingnya dan besarnya arti sebuah sandaran hukum yang mampu mengakomodasi segala kepentingan dan segala aspek. Ini tidak lain hanyalah ada pada hukum samawi yang mengandung kebijakan universal, dimana aksentuasinya adalah penyempurnaan kebaikan yang ada didalam diri manusia, yaitu landasan moral.
Secara aksioma, kapasitas kemanusiaan mengandung dua unsur berlawanan, pertama, merupakan sisi nafsu, dimana prioritas segala keinginan sangat identik for a while happiness, dan perspektif duniawi lebih dominan sebagai puncak hasratnya, kedua adalah sisi nurani, dimana ia merupakan the art of good living, dengan orientasi kejiwaan yang memandang dunia sebagai sebuah infrastruktur bagi aplikasi kemanusiaan yang normatif.
Ambiguitas tendensi manusia ini, perlu disadari sebagai suatu kelemahan struktural yang mutlak disenyawakan agar menjadi bahan apersepsi dan renungan bahwa superioritas manusia mengandung keterbatasan yang masih membutuhkan tuntunan supremasi Tuhan. Ujud relativitas dari kecenderungan manusia ini perlu adanya doktrin yang mengatur sekaligus mengikat nafsu agar tidak bergerak independen, dengan sebuah tatanan yang integral, yakni agama. Sistem ini merupakan elemen dari sebuah kekuatan untuk dapat menjaring dan membendung segala self interest yang terkadang cenderung kepada negative support, hingga membuka akses kearah pelanggaran etika kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Fitrah sosial manusia adalah fitrah interdependen (saling tergantung), yang secara aksioma adalah merupakan kebijakan Tuhan (sunnatullah), agar terbentuk suasana kehidupan dinamis dan tercipta mutual interactive yang saling mengisi dan melengkapi. Sehingga manusia dapat dipandang sebagai ahlul dunya dalam lingkup lingkungan masyarakat global (the global ring of human society). Hal ini secara implisit termaktub dalam firman Allah: ” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. ( Al Hujurat: 13)
Gambaran ayat diatas merupakan starting point atas sebuah plurarisme dan keberagaman yang perlu dicermati bahwa, pertama, manusia sungguh sulit untuk menghindari realita dengan upaya alienasi diri, karena hal ini merupakan pengingkaran terhadap fitrahnya sendiri sebagai makhluk sosial. Kedua, bahwa jalinan kemanusiaan mengandung efek yang dapat membuka pintu positif, plus pintu negatif. Positifnya, dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara menyeluruh dan juga merupakan sarana pendukung vital menuju kebaikan dan kesempurnaan hidup. Sedang negatifnya, interaksi ini dapat melahirkan suatu gesekan sebagai konsekuensinya, baik yang bersifat marginal impact (gesekan kecil), ataupun crucial impact (gesekan besar), dimana implikasinya terkadang dapat memancing emosional individu ataupun masyarakat, bahkan tidak jarang diikuti oleh tindakan irrasional dan brutal, yang dapat mengunci mati sisi nurani dan etika kemanusiaan, dan saat itu yang tampak hanyalah luapan nafsu dan amarah diatas bara-bara kebencian ataupun dendam.
Menyadari akan hal itu, diperlukan sebuah solusi untuk mengarahkan manusia menuju kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan norma yang seharusnya, melalui sistem yang benar. Dan Islam sebagai agama alam semesta, rahmatan lil’alamin, menawarkan kebijakan sistem normatif yang aplikatif dan pragmatis untuk kemaslahatan global, dan secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Dengan sistim pengimanan; sistim ini mengarah kepada titik sasaran sebagai obyek, yaitu hati yang menjadi sumber dan cahaya. Apabila sumber ini tercemar oleh kotoran dan penyakit, maka yang dikeluarkannya pun merupakan sindrom segala keburukan dari penyakit hati. Juga, cahaya hati akan redup jika tertutup oleh lumpur kedengkian, hasut ataupun kesumat. Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad ini ada segumpal daging, jika ia baik, maka akan baik seluruh jasad, jika rusak, maka akan rusak pula seluruh jasad, ingatlah, itulah hati. indoktrinasi kepada hati, akan membentuk sistim yang mampu merektifikasi batin lebih teguh dan responsif terhadap segala kebaikan. Dan keadaan imi mampu menciptakan interaksi aktif kepada Allah dan sesama makhluk, sehingga tercipta hubungan yang dilandasi rasa mahabbah (cinta kasih), itha’ah (ketaatan), rahmah (kasih sayang) serta islah (perbaikan).
- Dengan sistim pengislaman: Islam mengajarkan cara berfikir teoritis juga mengarahkan pada pemikiran yang aplikatif. Hal ini akan melatih tiap individu berlaku jujur, berbuat sesuai dengan keadaan nurani dan ketulusan hati yang sebenarnya, memenuhi segala kewajiban atas dirinya sebagai hamba dan senantiasa mengindahkan keharusan yang menjadi hak sesama manusia sehingga kewajiban maupun hak kemanusiaan dan ketuhanan berjalan seiring tanpa ada yang didiskreditkan. Sikap aplikatif ini seperti yang difirmankan Allah dalam QS. Al Bayyinah ayat 5.
- Dengan sistim pengihsanan: Aplikasi dan pengamalan norma dalam Islam disebut Amal Shaleh. Dan Islam bukanlah agama imperialis yang dominan dengan sifat pemaksaan, namun ia adalah agama yang meletakkan dasar tanggungjawab moral pada pillihan dan usaha orang itu sendiri. Karena Islam adalah ‘petunjuk jalan’, dan ‘petanya’ adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Jika tak ingin tersesat dalam hidup, pakailah petunjuk dan peta agar tahu dan mengerti akan arti dan kebenaran dari sebuah perjalanan hidup. Dan kalaulah landasan moral ini terkikis, maka tidak ada lagi yang bisa untuk dipertahankan, selain kehancuran bangsa itu sendiri. Ulama bijak menyebutkan: ” Keberadaan umat terletak pada akhlaqnya, kalau akhlaq mereka musnah, maka umat itu akan binasa”.
Sistem inilah yang ditawarkan Islam, agar manusia senantiasa berpijak pada dasar moralitas sesuai dengan doktrin Tuhan. Sehingga dengan iman akan tercipta konstelasi kekuatan norma yang mampu menata hati lebih dominan mencerna sisi-sisi baik dan dimanifestasikan dalam platform yang semestinya, yaitu wadah Islam, sebagai sentral penggemblengan disiplin internal yang konstan, dengan dihiasi oleh amalan-amalan shaleh, agar kita benar-benar layak menyandang gelar khaira ummatin.*)
*) oleh Janan (Guru dan Humas Al Ibrah) dari berbagai sumber