6 Penyebab Rendahnya Mutu Pendidikan di Indonesia

Ketua Umum PGRI
Foto : Bapak Sulistyo (Ketua PGRI) sumber : kompasiana.com

Kejadian di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat telah  merenggut nyawa Ketua Umum PB PGRI Sulistyo,54, pada Senin siang (14/3). (Baca : Inilah Kronologi Meninggalnya KeTua PGRI )

Sulistyo adalah sosok yang bersahaja dan pekerja keras yang menjadi panutan, karena terus memperjuangkan nasib para guru agar lebih diperhatikan pemerintah.

Sebagai Ketua Umum PGRI, Sulistiyo telah menjabat selama dua periode. Sebelumnya pada periode 2008-2013 menjadi ketua PB PGRI dan pada kongres PGRI ke XXI di Jakarta secara aklamasi kembali ditetapkan menjadi Ketua Umum PGRI periode 2013-2018.

Dalam kepemimpinan PGRI selama hampir dua periode,  almarhum telah berhasil membawa kemajuan yang luar biasa bagi organisasi yang menaungi sekitar 2,7 juta orang guru dari seluruh Indonesia.

Pada setiap kesempatan, beliau selalu menekankan agar dunia pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.Sulistyo menyampaikan beberapa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain :

Pertama; pendekatan pendidikan. Pendekatan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada input dan output sistem pembelajaran kepada siswa. Padahal untuk meningkatkan mutu dunia pendidikan bukan sekadar input dan output saja yang harus diutamakan, melainkan proses pendidikan dan pengajaran kepada para siswa juga harus dilakukan secara baik.

Kedua; faktor manajemen. Pada sisi manajemen, pengelolaan pendidikan cenderung kaku, birokratis dan belum sepenuhnya mampu mengembangkan potensi siswa. Selain itu birokrasi pendidikan tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk merancang program dan melaksanakannya dengan berbasis kualitas.

Ketiga;  guru. Pada sisi guru yang merupakan ujung tombak, rendahnya profesionalisme dalam hal penguasaan materi pembelajaran, penguasaan metode mengajar, kreativitas, kemampuan mengevaluasi, mengelola kelas, serta membimbing siswa masih menjadi persoalan tersendiri.

Keempat; kurangnya sarana dan prasarana pendidikan. Faktor lainnya berupa sarana dan prasarana yang kurang, banyak dijumpai bangunan sekolah yang rusak, buku ajar bagi siswa yang belum memadai dan perpustakaan dan laboratorium yang belum representatif.

Kelima;  rendahnya biaya pendidikan dari APBN/APBD dan partisipasi masyarakat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya Kemdikbud dan Kemenag belum melaksanakan politik anggaran yang efektif dan efisien, sehingga belum berdampak langsung pada peningkatan mutu pendidikan. Sementara itu, adanya kampanye menyesatkan tentang “pendidikan gratis” menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap pendidikan.

Keenam; praktik pendidikan yang diceraikan dari pemikiran politik. Praktik pendidikan yang diceraikan pemikiran politis menyebabkan pendidikan tidak hanya buta politik, tapi alergi dan bahkan takut politik. Akibatnya, kemauan politik dan implementasi kebijakan tidak berpihak pada pendidikan.

Menurutnya, sebagai komponen utama terpenting dan ujung tombak kualitas pendidikan, perlu adanya peningkatan kualitas dan profesionalisme secara sistematis kepada guru. “Juga adanya pemenuhan hak dan peningkatan kesejahteraan, kebebasan berserikat, peningkatan peran politik, serta penciptaan situasi kondusif,” demikian tegas Pak Lis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.