Untuk merealisasikan cita-cita yang telah terpatri di dalam hatinya , di sisi Ka’bah dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri serta menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup.
Dia rajin mendatangi rumah-rumah mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti pengajian-pengajian mereka, sehingga dia berhasil mentransfer riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Nu’man bin Basyir.
Dia banyak sekali mentransfer riwayat dari bibinya, ‘Aisyah Ummul Mukminin sehingga dia menjadi salah satu dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqahâ` as-Sab’ah) yang menjadi rujukan kaum muslimin di dalam mempelajari agama mereka.
‘Urwah bin Az Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala terik matahari yang menyengat dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit, selalu membasahkan lisannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala. Selain itu, dia selalu tekun membaca Al Quran. Setiap harinya, dia membaca seperempat Al Quran.
Diriwayatkan tentangnya bahwa dia pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat dengan ringan (cepat), maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai keperluan kepada Tuhanmu ‘Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon kepada Allah di dalam shalatku segala sesuatu bahkan garam.”
‘Urwah bin Az-Zubair adalah juga seorang dermawan, pema’af dan pemurah. Di antara contoh kedermawanannya, bahwa dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya terhindar dari gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya tersebut di banyak arah supaya orang-orang mudah untuk memasukinya.
Maka mereka pun memasukinya, datang dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan membawanya pulang dengan sesuka hati. Dan setiap kali dia memasuki kebunnya ini, dia mengulang-ulang firman Allah,
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Dan Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu ‘Maa syaa Allaah, laa quwwata illaa billaah’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al Kahfi: 39)
Pada Suatu hari, Khalifah kaum muslimin, al-Walid bin Abdul Malik mengundang ‘Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di Damaskus, lalu Urwah memenuhi undangan tersebut dan membawa putra tertuanya.
Ketika sudah datang, Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan memuliakannya dengan penuh keagungan. Namun saat di sana, tatkala putra ‘Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya dengan keras hingga dia meninggal seketika.
Belum lama setelah kematian putra pertamanya, salah satu kakinya terkena tumor ganas (semacam kusta) yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya membengkak dan tumor itu dengan sangat cepat berkembang dan menjalar.
Karena itu, Khalifah memanggil para dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan meminta mereka untuk mengobatinya dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter sepakat bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain memotong betis ‘Urwah, sebelum tumor itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerima kenyataan itu.
Ketika dokter bedah datang untuk memotong betis ‘Urwah dan membawa peralatannya untuk membelah daging serta gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada ‘Urwah,“Menurutku anda harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa sakit ketika kaki anda dipotong.” Maka Urwah berkata, “O..tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan.”
Maka dokter itu berkata lagi, “Kalau begitu aku akan membius anda.”Urwah berkata,“Aku tidak ingin, kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini.”Ketika dokter bedah itu mulai memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada ‘Urwah, maka ‘Urwah pun berkata, “Untuk apa mereka datang?.”Ada yang menjawab,“Mereka didatangkan untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat sangat, lalu anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri.”
Lalu ‘Urwah berkata, “Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.”
Kemudian dokter mendekatinya dan memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika sampai kepada tulang, dia meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya, sementara ‘Urwah membaca, “Lâ ilâha illallâh, wallâhu Akbar.”
Dokter terus menggergaji, sedangkan ‘Urwah tak henti bertahlil dan bertakbir hingga akhirnya kaki itu buntung.
Kemudian dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah, ‘Urwah pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca Kitab Allah pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan al-Qur’an) yang terlewati olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika siuman, ‘Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan menimang-nimangnya seraya berkata,
“Sungguh, Demi Dzat Yang Mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu berjalan kepada hal yang haram.
‘Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan kebaikan, kebajikan dan ketakwaan. Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya memaksanya agar berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di tangan bidadari.