“Ayah, tadi Fian baca buku cerita harimau di perpustakaan sekolah sama ustadzah, harimaunya macam-macam lo Ayah, ada juga yang belang, bla.. bla.. bla… Ayaaaah…! Ayah nggak mau dengar..!” Fian mulai merajuk.
“Iya, iya..,” jawab Ayah Fian sambil tetap sibuk dengan handphone di tangannya.
Lain lagi Amy kakak Fian. Ia bercerita ketika tantenya menjumpai Amy tanpa sengaja menangis diam-diam di kamarnya, “Bunda lebih sayang Fian dari pada aku. Setiap Fian nangis, mesti aku yang disalahin. Padahal Fian yang salah. Bunda kan nggak tahu masalahnya. Kalau aku mau ngomongin masalahnya, Bunda mesti tambah marah katanya aku nggak mau ngalah…” adunya sambil sesenggukan.
Seringkali kita menginginkan anak-anak mendengar perkataan kita, tetapi kita lupa belajar mendengar suara hati mereka. Kita ingin anak-anak kita cerdas dan kreatif, tetapi kitalah yang pertama kali membunuh bakat-bakat mereka, inisiatif-inisiatif mereka dan bahkan kebaikan-kebaikan mereka tanpa kita sadari. Kita abaikan saat-saat kritis yang berharga bersama mereka dengan kesibukan kita sendiri yang seperti tiada habisnya.
Kasus lainnya terjadi pada Fifi. Di kalangan rekan kerjanya, Fifi dikenal cukup vokal. Ia cukup percaya diri menyampaikan pendapatnya kepada orang lain. Namun satu kekurangan yang membuat ia kurang disukai rekan-rekannya, Fifi jarang mau mendengar orang lain ketika berbicara. Bahkan di saat ada orang lain yang sedang menyampaikan sesuatu belum selesai ia sudah memotong pembicaraan temannya, sehingga seringkali opininya kurang tepat karena ia belum menerima penjelasan secara utuh.
Lebih “kritis” lagi permasalahan yang terjadi pada pasangan Hendra dan Indah. Indah hampir mengajukan gugatan cerai karena merasakan kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. “Kering” komunikasi menjadi masalah utama. Ia menganggap suaminya kurang memahami dirinya dan lebih mementingkan rekan-rekannya. Suaminya acapkali lebih memilih sibuk dengan gadjetnya dibandingkan merespon cerita ataupun keluhannya.
Mendengar kunci keharmonian
Hampir setiap orang pasti akan senang berbicara, apalagi kalau membahas tentang dirinya atau yang berhubungan denga kesukaan atau hobinya. Jika ada yang nampak tidak suka berbicara, bisa disebabkan karena karakter yang pendiam, tidak menguasai sebuah perbincangan atau memang dia tidak mau terlihat menonjol di komunitasnya. Namun sebenarnya ada yang lebih sulit dari berbicara, yaitu mendengar.
Mendengar, adalah bagian tak terpisahkan dari suatu sesi bicara. Mendengar adalah elemen penting yang menjadi sebuah sesi bicara dingat dan dikenang, sebuah sesi bicara yang membawa manfaat dan mencerahkan. Oscar Bruce, seorang Pakar Komunikasi, menyatakan jika ada orang yang sering terlupa dengan suatu pembicaraan atau nama seseorang, maka sebenarnya ia bukan lupa, melainkan tidak mendengar. Oscar mengatakan, “Sederhana saja, Anda tidak lupa pada nama mereka. Anda hanya tidak pernah mendengarkannya dengan seksama sejak awal bicara. Anda hanya berfokus pada diri sendiri, dan bukan pada orang lain.”
Banyak yang berpendapat bahwa mendengar adalah mudah. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang mendengar tidak untuk tujuan memahami dan mengerti, melainkan mendengar hanya untuk bisa membalas percakapan. Padahal sejatinya, aktivitas mendengar secara efektif tidak hanya menggunakan telinga, tetapi menggunakan semua pancaindera, terutama penglihatan dan bahasa tubuh sebagai bentuk komunikasi nonverbal.
Dalam satu sesi konseling, mendengar merupakan satu keterampilan yang wajib dimiliki oleh seorang psikolog ataupun konselor. Dalam Psikologi, mendengar yang terbaik adalah mendengar dengan empati, yaitu mendengar dengan menjiwai apa yang didengar. Dalam situasi konseling Psikolog ataupun konselor lebih banyak menggunakan waktu dengan aktivitas mendengarkan klien dibandingkan berbicara. Berikutnya yang tak kalah penting adalah keterampilan dalam memberi respon. Jika seseorang kurang mampu mendengar secara efektif, pada umumnya ia juga akan mengalami kesulitan dalam memberi respon secara tepat.
Carl Rogers, pakar Psikologi mengatakan, mendengar adalah kekuatan terbesar yang dikenal manusia untuk membebaskan potensi dari diri orang lain. Komunikasi yang nyata hanya terjadi bila kita mendengar untuk mengerti dan memahami. Untuk melihat ide dan sikap dari kacamata orang lain. Inilah kunci untuk menjadi master motivator dan orang yang berpengaruh.
Banyak orang yang pintar berbicara. Menjadi pembicara yang baik, bukanlah hanya menjadi pembicara yang terus berbicara dan lupa mendengar. Orang akan menyukai seseorang yang bisa membuat mereka merasa spesial. Mendengarkan orang lain, akan membuat lawan bicara kita merasa spesial. Berbicara dengan baik, atau diam dan mendengarkan orang lain dengan seksama adalah penting. Dengan menjadikan lawan bicara kita sebagai orang yang istimewa, maka kita akan jadi pembicara yang sangat istimewa.
Di samping itu, seringkali permasalahan yang dialami seseorang reda dengan sendirinya setelah ia telah “curhat” pada orang lain. Karena sebenarnya mereka hanya ingin didengarkan permasalahan-permasalahannya. Cukup hanya didengar dan difahami, tanpa diberi “nasihat” panjang lebar, mereka dapat tersenyum kembali.
Jika kita menganggap anak kita, murid kita, ataupun pasangan kita adalah orang-orang yang istimewa, maka belajar mendengar secara efektif adalah sebuah keniscayaan. Berusaha untuk mendengar orang lain akan menjadikan kita lebih bijak dalam menyikapi persoalan hidup. Sehingga saat kita bersuara bisa memberikan pencerahan, bukan menimbulkan masalah yang baru.
Jadi, jika ingin menjadi istemewa, istimewakan orang lain, dan jika ingin didengar, maka mari kita belajar mendengar..*
*) ditulis oleh Zahrotul Munawwaroh, S.Psi., M.KPd.(Pakar Psikologi dan Pengurus Harian Yayasan Al Ibrah)